Oleh: Muhammad Syauqi Al Muhdhar Lc., MA
Sekretaris Umum Rabithah Alawiyah Provinsi Lampung
Sore itu, di sudut tenang Asilo Hermelink, Bandar Lampung, berlangsung percakapan yang jarang terjadi: tokoh-tokoh lintas agama duduk bersama membicarakan krisis yang tak lagi bisa ditunda—kerusakan lingkungan. Monsinyur Vinsensius Setiawan Triatmojo, Uskup Tanjungkarang, melontarkan pernyataan yang menohok: krisis ekologis adalah persoalan moral, bukan sekadar teknis.
Baca Lainnya :
Pernyataan itu bergema kuat di ruangan. Sebab, di luar sana, Bandar Lampung yang padat penduduk terus berhadapan dengan ancaman banjir setiap musim hujan. Tidak hanya infrastruktur yang rusak—nyawa pun melayang. Pertanyaannya kemudian sederhana namun mendesak: apakah kita masih bisa menyebut diri kita beragama jika membiarkan bumi hancur di tangan kita sendiri?
Bias Antara Nafsu dan Kebutuhan
Manusia modern hidup dalam paradoks. Kita mengeluh soal kekeringan, tapi boros air. Protes soal polusi, namun enggan meninggalkan kenyamanan plastik sekali pakai. Berteriak tentang perubahan iklim, tetapi tetap memilih gaya hidup yang merusak. Inilah yang disebut Uskup Vinsensius sebagai "bias antara hawa nafsu dan kebutuhan"—sebuah kegagalan membedakan mana yang esensial dan mana yang sekadar ego konsumtif.
Islam, dalam hal ini, menawarkan kompas moral yang tegas. Konsep maqāṣid al-syarī'ah yang digagas Imam al-Ghazali menegaskan bahwa syariat bertujuan melindungi lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Namun, bagaimana mungkin kelima tujuan itu tercapai jika bumi yang menjadi tempat tinggal kita justru rusak?
Kerusakan lingkungan mengancam nyawa melalui bencana dan penyakit. Polusi merusak akal dan menurunkan kualitas hidup generasi mendatang. Kelangkaan sumber daya mengganggu ekonomi. Bahkan, peribadatan dan pendidikan terhambat ketika lingkungan tidak lagi kondusif. Dengan kata lain, keberlanjutan ekologis bukan agenda sampingan—ia adalah prasyarat tercapainya seluruh tujuan syariah.
Jihad yang Terlupakan
Dalam tradisi Islam, kata "jihad" sering diasosiasikan dengan perjuangan fisik di medan perang. Padahal, makna sejatinya jauh lebih luas: usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kerusakan. Dalam konteks hari ini, tidak ada jihad yang lebih mendesak selain jihad ekologis.
Al-Qur'an dengan tegas melarang: "Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya" (QS. Al-A'raf: 56). Ayat ini bukan retorika. Ia adalah perintah langsung yang menuntut aksi konkret.
Di forum Asilo Hermelink, para peserta merumuskan langkah-langkah praktis: memilah sampah, mengurangi penggunaan plastik, menjaga kebersihan sungai, menanam pohon, dan mengedukasi generasi muda soal pentingnya lingkungan. Sederhana, memang. Tetapi justru di situlah letak ujiannya. Sebab, kerusakan global dimulai dari kelalaian kecil yang dibiarkan menumpuk.
Seorang peserta melontarkan satire yang menusuk: "Kita sering bicara besar soal lingkungan, tapi masih buang sampah sembarangan. Mengeluh panas, tapi malas menanam satu pohon pun. Marah soal pencemaran, tapi tetap pilih kantong plastik karena lebih praktis." Inilah ironi yang harus kita akhiri.
Dari Individu ke Kebijakan Publik
Tentu saja, kesadaran individual saja tidak cukup. Jihad ekologis hanya akan efektif jika bertemu dengan kebijakan publik yang berorientasi jangka panjang. Peserta diskusi sepakat: pemerintah harus lebih ketat dalam mengatur industri pencemar, melindungi ruang terbuka hijau, mengelola air dan sampah secara adil, serta menyusun tata ruang kota yang manusiawi.
Dalam terminologi fikih, ini disebut maṣlaḥah 'āmmah—kemaslahatan umum yang harus diprioritaskan di atas kepentingan sesaat. Pemerintah tidak boleh lagi mengorbankan keberlanjutan generasi mendatang demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Kebijakan yang tidak berpihak pada lingkungan adalah kebijakan yang menggadaikan masa depan.
Fikih Prioritas: Apa yang Kita Dahulukan Hari Ini
Dari diskusi di Asilo Hermelink, satu kesimpulan mengkristal: merawat bumi adalah merawat masa depan bersama. Ini bukan lagi wacana, melainkan kewajiban teologis dan kemanusiaan yang tak bisa ditawar.
Fikih prioritas (fiqh al-awlawiyyāt) mengajarkan kita untuk mendahulukan yang paling mendesak. Dan tidak ada yang lebih mendesak hari ini selain menyelamatkan bumi dari kerusakan yang kita ciptakan sendiri. Sebab, apa yang kita dahulukan hari ini akan menentukan bumi seperti apa yang kita wariskan kepada anak cucu kita.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah kita peduli lingkungan atau tidak. Melainkan: akankah kita bertindak sebelum terlambat? Atau kita akan terus hidup dalam kemunafikan—mengaku beragama, tetapi membiarkan amanah paling besar dari Tuhan kita hancur di depan mata?
Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan masa depan kita semua.







Komentar
Tuliskan Komentar Anda!